MATARAM LOMBOK DOKUMEN – Perubahan iklim seringkali memicu terjadinya cuaca ekstrem dan berpotensi mengganggu produktivitas hasil panen petani di Provinsi NTT. Sebabnya dalam beberapa tahun terakhir, cuaca dan iklim yang kerap berubah secara tiba-tiba ini makin sulit untuk diprediksi oleh petani.
Apabila di masa lalu, tanda-tanda alam seperti suara binatang dan lain sebagainya itu digunakan sebagai patokan untuk menentukan kapan harus memulai musim tanam dan masa panen yang tepat. Namun, seiring dengan tidak jelasnya cuaca, maka cara-cara tradisional tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi di masa kini.
Karena itu perlu ada peningkatan pengetahuan bagi para petani agar tidak salah dalam menentukan langkah. Apabila salah perhitungan dalam membaca peta prakiraan cuaca, maka risiko terburuk yang bisa saja terjadi adalah gagal panen karena dampak cuaca ekstrem seperti badai, banjir, kekeringan hingga angin puting beliung yang dapat merusak tanaman.
Perubahan iklim yang sedang berlangsung seperti sekarang ini memiliki dampak yang cukup luas. Kondisi cuaca yang tidak menentu telah menyebabkan kerugian ekonomi bagi masyarakat, khususnya yang menggantungkan sumber penghidupannya di sektor pertanian.
Salah satu dampak perubahan iklim menyebabkan produksi pertanian di NTT ikut menurunkan tingkat produktivitas pertanian yang ada di sana.
Perubahan iklim telah menyebabkan petani menanggung kerugian yang cukup besar akibat berubahnya pola musim tanam yang ditandai dengan penurunan produksi, baik tanaman pangan di lahan basah seperti sawah maupun yang ada di ladang tegalan.
Kondisi itulah yang terutama dialami sebelumnya oleh petani di Manggarai Timur yang lahan pertaniannya mengalami penurunan produktivitas sejak 4 tahun terakhir. Berkurangnya tingkat produktivitas panen padi itu sangat dirasakan dampaknya mulai tahun 2018 yang lalu.
Berdasarkan data produksi padi sawah beririgasi teknis, sawah tadah hujan dan tanaman perdagangan yang dirilis oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manggarai Timur pada tahun 2021 menujukkan bahwa hasil padi sawah turun sebesar 18,23 persen dan sawah tadah hujan sebesar 53.94 persen pada 3 tahun terakhir.
Sedangkan produksi kopi jenis Robusta pada 4 tahun terakhir (2018-2021) di Kecamatan Lamba Leda Selatan dan Congkar (lokasi studi) mengalami penurunan sebesar 257,30 ton atau 10,93 persen, dari total produksi 2.354,12 ton tahun 2018 turun menjadi 2.096,82 ton tahun 2021.
Sumber pendapatan utama dari 82,28% penduduk di Kabupaten Manggarai Timur berasal dari sektor pertanian atau dengan kata lain, sejumlah itu penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Perubahan iklim disertai terjadinya cuaca ekstrem berpengaruh negatif terhadap kehidupan petani, mereka berpotensi mengalami gagal panen dan kehilangan penghasilan atau sumber penghidupannya.
Desa dengan sumber pendapatan utama penduduk yang didominasi dari kegiatan pertanian dapat dikatakan memiliki kerentanan dan sensitivitas tinggi bila terjadi perubahan iklim atau anomali iklim.
Petani Rentan Terdampak Perubahan Iklim
Richard dari Yayasan Ayo Indonesia pada Januari 2023 yang lalu melakukan kajian kerentanan masyarakat di Manggarai Timur terhadap perubahan iklim dengan mengumpulkan data primer dan sekunder terkait tingkat pendidikan, kondisi biofisik tempat tinggal, dan sumber pendapatan dari masyarakat. Kegiatan Kajian ini merupakan kelanjutan dari kajian dampak perubahan iklim di sektor pertanian pangan yang laksanakan bulan April sampai dengan Mei 2022.
Pengumpulan data primer dan sekunder pada kajian itu dimaksudkan sebagai bahan analisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Kegiatan ini dilaksanakan di 2 desa dan 2 kelurahan di Manggarai Timur.
Metode yang digunakan pada kajian ini, salah satunya adalah mewawancarai 60 responden. Masing-masing desa atau kelurahan diwakili oleh 15 orang. Mereka adalah anggota kelompok tani berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, orang muda, dan tokoh masyarakat.
Richard dan Flory sama-sama menuturkan bahwa kajian yang telah dilakukan oleh Ayo Indonesia itu berangkat dari hasil analisis yang sebelumnya juga pernah dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Bappenas menyimpulkan bahwa Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu daerah s Indonesia yang termasuk dalam kategori kerentanan tinggi. Sebanyak 176 desa yang ada di sana juga memiliki potensi besar terdampak perubahan iklim.
“Dari situasi itulah, maka kami berkeyakinan bahwa perubahan iklim ternyata memberikan dampak. Oleh karenanya, masalah ini perlu disuarakan, perlu dibicarakan, perlu diingatkan kepada pemerintah supaya kebijakan pembangunannya harus memberikan perhatian yang serius, dan harus betul-betul berjalan secara maksimal. Itu subtansi dan konteks dari Program VICRA,” tutur Richard menjelaskan urgensi dari program VICRA di Manggarai Timur yang di 2023 ini pelaksanaannya telah memasuki tahun kedua.
Ibaratnya gayung bersambut, konteks dan tema dari pelaksanaan Program Voice for Inclusiveness Climate Resilience Actions (VICRA) atau Suara untuk Aksi Ketahanan Iklim Inklusif di NTT juga dilakukan oleh Yayasan Pengkajian Pengembangan Sosial (YPPS) di Kabupaten Flores Timur dan Perkumpulan Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung).
Cerita praktik-praktik baik ini pun secara khusus tidak hanya ditemukan di pelaksanaan Program VICRA, tetapi lebih banyak didapatkan dari program lain yang secara langsung melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas komunitas di tingkat tapak.
Inovasi dan Model Advokasi Kebijakan
Inovasi dari pelaksanaan program yang sedang diupayakan Ayo Indonesia adalah melakukan advokasi kebijakan ke pemerintah daerah berdasarkan regulasi dan berbasis bukti dari praktik baik yang ditemukan di lapangan.
Tidak mudah bagi lembaga-lembaga pelaksana Program VICRA di NTT untuk meyakinkan para pemangku kebijakan di level daerah. Maka, untuk menguatkan argumen, diperlukan beberapa bukti-bukti yang ada di lapangan dan berbasis data.
Dalam proses advokasi yang dilakukan, tim program meyakinkan para pihak pemangku kebijakan dengan cara melihat praktik baik dari penanaman sorgum sebagai salah satu alternatif pangan lokal dan dinilai cukup adaptif terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi di hampir semua wilayah Provinsi NTT.
“Sorgum ini ditanam tidak hanya dalam rangka untuk menyadarkan petani dalam rangka adaptasi perubahan iklim, tetapi sorgum dinarasikan sebagai bahan pangan, untuk gizi, untuk ekonomi, dan untuk ekologi,” kata Richard menjelaskan.
Hasil dari penerapan teknologi dan penanaman sorgum di beberap tempat itu kemudian disampaikan kepada pemerintah daerah. “Cara-cara inovatif inilah yang nanti bisa menjadi bagian dari kebijakan pangan di Manggarai Timur,” ungkapnya Richard.
Selain penanaman sorgum, cara kedua yang dipilih oleh Ayo Indonesia adalah dengan menerapkan pertanian karbon yang memanfaatkan sisa-sisa tanaman sebagai bahan pupuk organik.
“Pertanian karbon adalah dengan menggunakan sisa-sisa tanaman yang kering, kemudian dibakar dengan rendah oksigen, kemudian menjadi arang,” lanjut Richard menjelaskan.
Teknologi irigasi tetes dari pertanian karbon itu diperkenalkan kepada petani di Manggarai Timur agar di saat sedang mengalami cuaca ekstrem misalnya kekurangan air, maka tanaman masih bisa hidup, karena arang bisa mempertahankan kelembaban tanah.
Dengan demikian, tanaman pun masih bisa tumbuh dengan baik. Arang juga mampu menstabilisasi kadar air di dalam tanah apabila terjadi curah hujan yang tinggi.
“Cara-cara inilah yang mau kita perkenalkan, di samping upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah juga untuk mengurangi CO2 ke udara,” papar Richard.
Dalam proses perencanaan hingga ke tahapan implementasi, tim pelaksana tidak lupa pula melibatkan kelompok-kelompok petani perempuan. Hal itu menurut Richard dilakukan sebagai bagian dari upaya penerapan kesetaraan gender dan inklusi sosial di dalam program.
Sementara itu, Flory mengungkapkan cerita menarik lainnya yang ditemukan di tahun pertama implementasi program VICRA. Isu perubahan iklim yang sebelumnya merupakan sesuatu pembicaraan yang asing, kini isu iklim menjadi tema serius dan sangat penting untuk didiskusikan lebih lanjut di pemerintah kabupaten.
“Di level Pemda, Manggarai Timur tertarik untuk mendiskusikan tema perubahan iklim. Berangkat dari keseriusan itu, maka Bupati memiliki suatu komitmen. Salah satu bentuknya adalah dengan mengeluarkan surat edaran untuk penerapan desa tanggap perubahan iklim dan membentuk kelompok kerja (Pokja) bersama,” terangnya.
Petani pun menjadi sadar dan terbuka serta bersedia menerima sesuatu yang disuarakan dan diterapkan oleh Ayo Indonesia dalam rangka mengupayakan pertanian yang berketahanan iklim.
Sebuah model pertanian yang mengembangkan penanaman sorgum dan pemanfaatan teknologi hortikultura. Selain itu, Ayo Indonesia juga pernah mengundang OPD dan Sekda setempat untuk hadir serta melihat secara langsung contoh baik yang ada di komunitas petani.
Pengalaman yang sama juga diceritakan oleh Simon dari YPPS yang melakukan pendampingan di Kabupaten Flores Timur.
Simon menuturkan pemangku kebijakan yang ada di sana cukup responsif terhadap inovasi dan praktik baik yang telah dilakukan oleh tim pelaksana program kepada kelompok petani.
Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) yang sebelumnya mati suri, tutur Simon, disebabkan oleh keterbatasan anggaran, tetapi kini perannya sudah mulai dianggap penting dan dikuatkan kembali oleh Pemerintah Daerah di Flores Timur.
FPRB ini pun kerap diundang dalam kegiatan-kegiatan diskusi yang tekait dengan perencanaan kebijakan publik seperti dalam pertemuan yang membahasa tentang isu pembangunan berketahanan iklim.
Strategi advokasi program yang diupayakan Simon di YPPS berdasarkan riset-riset, misalnya seperti kegiatan ‘budget tracking’ dalam rangka meningkatkan anggaran pembangunan daerah yang berketahanan iklim. YPPS sendiri melakukan lokakarya integrasi rencana aksi ketahanan iklim ke dalam dokumen APBDes dan melibatkan 11 desa di Flores Timur.
Lokakarya penyusunan rencana aksi ketahanan iklim ke APBDes itu mengundang keterwakilan masyarakat, mulai dari pemerintah desa, anggota BPD, perwakilan petani, baik laki maupun perempuan dan para pemuda di desa. Lokakarya dilaksanakan selama dua hari yang mengundang dan menghadirkan OPD terkait seperti dari Dinas PMD.
“Dari kegiatan lokakarya penyusunan aksi ketahanan iklim ke dalam dokumen APBDes itu walaupun dilakukan di masa akhir tahapan perencanaan, tetapi kami merasa hal itu berhasil karena ada satu desa yang sudah mau menganggarkan dan mengundang kami di YPPS sebagai narasumbernya,” ungkap Simon.
Ada lagi satu teknologi ‘solar dryer’ yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh kelompok dampingan YPPS. Solar dryer ini, kata Simon semacam teknologi green house.
“Selama ini praktik-praktik mengambil garam di laut itu dilakukan dengan cara dimasak, tetapi dengan adanya green house ini petambak garam bisa memanfaatkan energi panas matahari,” tuturnya.
Keberhasilan-keberhasilan yang bisa dicatat dan dapat disimpulkan dari implementasi program VICRA secara umum di NTT yang terkait adaptasi perubahan iklim, yaitu adanya komitmen pemerintah desa menggunakan dana desa, pembentukan desa tanggap perubahan iklim, penguatan kelompok kerja bersama, pengembangan pangan lokal sorgum dan pemanfaatan teknologi pangan.
Sebagai informasi, KONSEPSI NTB melalui program Voice for Justice Climate Action (VCA) bersama dengan lembaga mitra yang tergabung dalam Konsorsium C4ledger mengumpulkan kisah praktik-praktik baik serta pengetahuan lokal petani dalam beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di NTT.*** Harianto